What do you think?

Alarm berbunyi tepat pukul 4.30. Dengan enggan aku beranjak dari tempat tidurku. Rasa dingin seperti menusuk-nusuk tulang menembus kulitku yang tipis. Kutekan tombol saklar menyalakan lampu kamarku. Aku berjalan menuju meja belajar untuk mematikan alarm di hpku.
matikan
Jempolku menari-nari diatas keypad sambil mengecek kali aja ada pesan baru yang masuk. Di inbox tertera satu pesan baru. Aku buka,
Dya, tar anterin beli kado buat bunda aku ya. Gak ada acara kan? Ada juga wajib dibatalin O.K?
Sender:
DmaZ
+6285xxxxxxxxx
Received: 22:03:06
Replay,
O.K O.K O.K
Send to DmaZ, yes


Matahari harusnya ada diatas kepala, tapi kayaknya ngumpet dibalik awan hitam muda yang berarak di cakrawala Bandung. Aku mengengar suara knalpot motor Dimas, yang kian lama kian nyaring, kemudian berhenti tepat di depan rumahku. Derit pagar karatan terdengar minta diberi oli... dan suara langkah mendekati pintu yang terbuka.
“Dya... buruan! Keburu ujan!” ujar si pemilik langkah.
“Wa alaikum salam!” sahutku menyindir.
“Oh..ya... Assalamu alaikum!”
Aku langsung keluar, mengunci pintu kemudian pagar. Mengikuti Dimas, naik motornya.
Di jalan aku baru bertanya kemana tujuan kami pergi, dan mau beli apa.
“Ke pasar, gak apa-apa kan?”
“Ya nggak kalo kamu mau beli bahan buat bikin kue.”
“Aduh... Nadya... aku gak bisa bikin kue. Mau beli mukena!”
“Yang elitan dikit napa... ke pasar? Yang bagus kalo ngasih tuh.”
“Emangnya di pasar gak ada yang bagus?”
“hehe... gak jelek sih.”
“Kan ekonomis! Sederhana, Indah dan ekonomis...”
“Haha... btul...btul...btul...”
“Upin Ipin kali... Kan yang penting niatnya dan bukan berarti juga ngasih yang jelek kan?”
“Yupz!”

Setelah memilih, menimbang dan menawar dengan si pedagang di belilah mukena berbahan ringan dengan bordir bunga mawar merah di tepian kainnya. Ijab kabul dengan pedagang tak berlangsung alot seperti kasus bank century yang lagi heboh menghiasi layar kaca.
Barang yang dicari sudah diperoleh hujan lebat mengguyur Paris Van Java. Kita berdua nyangkut deh di tukang baso. Mengurangi rasa dingin dan melunasi tagihan perut yang keroncongan.
“Dy... aku mau nanya serius sama kamu.”
“Kari...” jawabku asal.
“Kamu... m...” dia tak memandangku... malah ngaduk-ngaduk baso di mangkoknya.
“Aku apa?”
“Kamu...m...”
Aku mencoba mencari jawaban. Tapi tentunya tak kutemukan karena matanya tertuju pada baso. katanya serius... kok lawan bicaranya gak diliat?
“Aku bukan baso...” ujarku meledek.
“Serius nih... kamu... mau menikah denganku?”
Hah? What you say? Get merried with you? What do you think about it?
“Kenapa? Kaget? Kan kamu yang bilang waktu putus dari Raka dua tahun lalu kamu gak mau pacaran lagi, maunya langsung dilamar orang. Kamu kan bilang pacarannya abis nikah aja. Waktu itu kamu sayang banget sama Raka, kamu gak mau mencintai dia lebih dari Penciptanya. Sampe lagu Monita jadi ost. ‘Aku yang memikirkan, namun aku tak banyak berharap, kau membuat waktuku tersita dengan angan tentangmu’. Kamu yang bilang mikirin dia mulu sampe belajar dan ibadah keteteran. Nah, aku mau jadi imam kamu, dan aku rela Tuhan menjadi yang pertama buat kamu. Dan aku yakin waktumu sudah tak tersita bahkan tak tersisa untuk Raka.”
Iya sih... kamu bener. Tapi dari dulu sampe detik ini aku nganggap kamu sebagai sahabatku, gak lebih dan gak kurang.
Ujung-ujung jemariku mulai terasa dingin. Leherku serasa tercekik. Dadaku terasa sesak. Dan di dalam tempurung otakku sedang terjadi huru-hara, gak jelas memikirkan apa. Mataku menerawang, kosong.
Suara hujan yang jatuh ke aspal, deru kendaraan bermotor yang berlalulalang, suara pembeli yang memesan baso, denting mangkok yang terkena sendok dan garpu orang yang sedang menyantap baso menjadi backsound keheningan antara aku dan Dimas.
“Ditanya kok diem aja?” suara Dimas menghentikan kebiasuan diantara kami setelah bumi berputar selama beberama menit.
“Aku... m... Maaf Dimas. Mama aku pesen, aku harus beres kuliah dulu.”
What I said? Dapet ide darimana tuh? Tapi aku gak bohong dan benar adanya.
Sinar matanya menyiratkan kekecewaan, tapi bibirnya mengukir senyum yang indah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Hatiku sungguh merasa tersanjung atas apa yang dia ungkapkan tapi jemariku meremas saku jaket yang kupakai, gelisah, takut kehilangan seorang sahabat yang menemaniku dari masa putih biru.
“Ujan udah reda. Kita pulang yuk! Ga apa-apa kok. Kita masih berteman dari dulu sampai nanti hingga batas waktu yang tidak ditentukan.” Ujarnya kalem.

Komentar

Postingan Populer