Ekspektasi
Setiap orang tentunya memiliki harapan, disadari atau tidak. Ternyata aku bukanlah orang yang sadar kalau aku sering menggantungkan banyak harapan pada orang lain. Karena kurang peka terhadap harapan sendiri serta memupuk harapan yang tinggi ketika kenyataan kebetulan tidak bersahabat rasa perih menjadi konsekuensi yang aku dapatkan.
Mulanya aku hanya mengerti apa yang kamu maksudkan wahai seseorang. Namun kini aku merasakan apa yang pernah kamu rasakan.
Bandung Januari 2013,
Ping
Gy dimana?
Ketemuan yuk hari ini
Begitulah isi teks BBM dari seorang teman lama tiba-tiba muncul.
Gak bisa say, aku hari ini ada kelas. Ada apa?
Lama temanku merespon, akhirnya dia menuliskan pesan,
Mertua aku meninggal gigi. Dia terkena penyakit ginjal. Makanya sekarang aku gak suka minuman bersoda. Semua aset keluarga di jual untuk biaya perawatannya waktu itu. Sekarang aku tinggal di Jakarta karena suami lagi kuliah. Cuman dilema aku ada usaha di Bandung yang lagi pengen di kembangin. Kamu bisa bantu aku ga, Gigi?
Dalam hati tak sengaja aku mengomentari setiap kalimatnya. Mertua aku meninggal gigi, Inalillahi...turut berduka cita ya say. Dia terkena penyakit ginjal, kok bisa? Makanya sekarang aku gak suka minuman
bersoda, ooo terus hubungannya apa? Semua aset keluarga di jual untuk biaya perawatannya waktu itu.
Astaga...Sekarang aku tinggal di Jakarta karena suami lagi kuliah. Wow keren udah move on. Cuman dilema
aku ada usaha di Bandung yang lagi pengen di kembangin. Kamu bisa bantu
aku ga, Gigi? Lha?
Bantu apa?
Jawabku singkat, secara aku ada di angkutan umum agak tidak nyaman bersosialmedia di tempat seperti itu.
Pinjemin aku modal usaha sepuluh juta aja. Aku kembaliin secepatnya. Janji. Kalo gak ada, berapa aja deh yang ada di kamu. Tar aku lebihin deh....
Waduh merdeka bener ni orang. Lagian aku bukan rentenir pake dilebihin segala. Aku emang kenal kamu udah belasan tahun tapi bukan berarti aku mudah percaya soal uang. Kan sensitif...banyak diluaran sana berujung memiliki masalah hukum gara-gara uang yang berujung tindak pidana. Tapi kasian juga.
Gak ada sepuluh juta mah. Aku bukan bank atau rentenir. Kalo dibalikinnya cepet alias kurang dari sebulan o.K. Tapi kok rasanya aneh ngembangin usaha dalam waktu singkat. Kalo kamu menawarkan kerjasama usaha mungkin aku pikir-pikir.
Begitulah mulanya aku memulai bisnis ini. Aku sebagai investor sekaligus konsultan keuangan bagi temanku. Kerjasama ini berlandaskan kepercayaan. Aku memberinya modal yang harus dikembalikan secara diangsur selama sepuluh bulan. Tanpa bunga. Aku hanya akan mendapat sedikit dari laba bersih yang diperoleh.Laba yang diperoleh tidaklah banyak. Aku tahu persis. Oleh karenanya aku bersabar jika dia terlambat mengangsur. Dan labanyapun akan diberikan pada bulan ke-sepuluh.
Beberapa bulan berlangsung lancar. Namun beberapa waktu aku berniat membantunya terjun langsung melakukan pemasaran dan ekspansi wilayah penjualan. Akupun dengan semangat mengikuti pameran dan menyiapkan segala sesuatunya hingga beberapa hari berturut-turut aku pulang malam dan merelakan hari libur untuk ke percetakan dan lokasi pameran. Sebagai teman aku berharap dia selaku pemilik asli hadir untuk memberikan kontribusi signifikan untuk kelangsungan usahanya. Namun dia tidak muncul batang hidungnya hingga seluruh rangkaian acara selesai. Aku puas karena mendapatkan peluang tender perhotelan akhir Desember mendatang.
Kecewa pasti, tapi aku senang mendapat pengalaman di lokasi pameran untuk bekal "mengembangkan usaha". Kecewa pada temanku itu. Akupun melupakan begitu saja tentang kekecewaanku. Sebetulnya ini bukan kekecewaan pertama yang aku alami. Ketika aku membahas beberapa kali tentang bisnis ini beberapa kali dia mengkir.
Beberapa hari yang lalu akhirnya aku berhasil menemuinya. Aku bermaksud mempersiapkan tender yang akan datang. Aku sebetulnya lelah karena beberapa pekan belum libur dari pekerjaanku, tapi terlalu sayang untuk melewatkan kesempatan yang datang. Dia datang dan menemaniku berkeliling melihat karya orang lain yang bergerak di bidang yang sama untuk menegtahui daya saing dan kondisi pasar. Ketika berkeliling aku sudah mencatat beberapa hal penting dan hal-hal yang harus aku lakukan.
Namanya badan dipaksa terus-terusan bekerja, akhirnya aku kelelahan sangat. Aku meminta temanku untuk mampir ke warung baso sejenak. Aku mulai membahas tender. Namun dia tidak proaktif melainkan sangat pasif. Hello! Ini usaha siapa sih? Kok aku yang berapi-api kamu yang punyanya santai kayak di pantai? Karena aku kecewa dengan tidak adanya respon akhirnya aku memilih tidak berbicara lagi dan mulai makan dengan cepat. Dia buka suara...membicarakan satu produk baru MLM yang aku tahu persis pergerakannya karena aku pernah diperkenalkan oleh teman yang lainnya. Dia berniat beralih fokus usaha, coba-coba lebih tepatnya. Mencoba dengan uangku yang ada padanya.
Ya Tuhan.... aku berharap usaha dia maju. Aku sendiri punya penghasilan tetap tanpa dia. Aku menghabiskan waktu dan tenaga untuk membantunya dalam merintis usahanya secara serius. Biarpun belum banyak menghasilkan rupiah tapi angka rupiah yang pernah diperoleh sudah lumayan. Namun yang namanya usaha tidak akan membuahkan hasil dalam sekejap mata. Perlu ketekunan, keuletan, kecerdikan memanfaatkan peluang, berusaha maksimal dan sabar. Jika sekarang dia selaku pemilik asli usaha tersebut tidak fokus dan tidak mengupayakan secara maksimal serta tidak ada itikad untuk menjaga kelangsungan usahanya, lalu aku ini apa? Untuk apa aku melakukan apa yang sudah aku lakukan kemarin-kemarin?
Kini aku memutuskan untuk tidak membantunya lagi. Rasanya.... yah bayangkan jika posisi kalian ada di posisi aku?
Dan kemudian aku sadar aku pernah belaku hal yang sama seperti temanku kepada seseorang. Bukan dalam hal bisnis dan tidak melibatkan pinjam-meminjam uang. Namun esensi dari ekspektasi seseorang terhadapku. Maaf kawan. Aku sudah merasakannya sekarang. Aku akan usahakan tidak melakukannya lagi. Karena mengecewakan orang lain itu....menyesakkan.
Komentar
Posting Komentar