Masa pake kerudung tukang pundung...Apa hubungannya?

Awal tahun 2005, tepatnya aku duduk dibangku SMA tahun terakhir. Setiap hari aku dijejali dengan aneka materi yang berkaitan dengan bahan ujian. Muak rasanya belajar dan belajar. Dari bangun tidur membaca bahan ajar untuk hari ini, di sekolah... jelas belajar! Pulang sekolah langsung les. Pulang les belajar lagi di rumah, mengerjakan PR.

Agar aku tidak kehilangan kewarasanku, aku selalu meluangkan waktu dari Jumat sampai Minggu untuk tidak belajar ekstra. Jumat untuk bersama temanku, Sabtu dan Minggu untuk keluargaku. Sekali waktu, aku diajak pergi di hari Minggu oleh temanku. Sempat aku ragu, karena dia mengajakku ke sebuah tempat yang terkenal orangnya pada alim. Kalo cowoknya identik sama celananya yang ngatung dan di dagunya ditumbuhi jenggot. Kalo ceweknya kerudungnya gede-gede, pake rok, dan kaos kakinya kayaknya nempel terus di kaki.

“Kenapa ragu?” tanya temanku yang mengajak.
“Aku kan gak punya rok gede dan gak bisa pake kerudung yang lebar?”
“Emangnya kamu kesana mau ngapain? Bukan buat nangkring atau cari cowok cakep kan!”
“Ya kagak... Cuma risih.”
“Yang penting niatnya. Open your mind! Masa sama preman berani, sama aktivis mesjid cemen!”
“Preman dibandingin! Preman kan penampilannya gak lebih baik dari aku. Lain halnya dengan mereka.”
“Dimata Tuhan kan semua orang sama! Belum tentu kamu lebih baik dari preman!”
“Iya sih....”

Hari minggu yang cerah, aku putuskan untuk menggunakan rok yang longgar dengan tali penahan agar tidak melorot, kemeja agar berkesan sopan dan kerudung pinjaman yang tak kan mencekik leher seperti ninja. Kaos kaki setinggi lutut yang kupilih, agar aku leluasa berjalan. Aku tak terbiasa menggunakan rok, selain rok sekolah, jadi rok nya pasti diangkat sedikit agar aku leluasa berjalan.

Aku menemui temanku dipertigaan jalan. Ia sudah menungguku disana. Kuliat mimik wajahnya geli melihatku. Seperti menahan tawa. Dia tidak akan tertawa terbahak-bahak, karena kata cewek DKM satu itu, tertawa terbahak-bahak bagi perempuan itu dilarang. Aku lega, dia berhasil menahan tawanya sehingga hanya tampak semburat senyum menghiasi wajahnya.

“Nah... gitu donk! Sering-sering pake rok. Tidak baik menyerupai laki-laki.”
“Baik ukhti!” Ujarku sambil mesem-mesem.

Kalo mau hiperbola, rasanya jantungku mau loncat. Aku tak pernah sebelumnya datang ke acara yang dibuat aktivis muslim. Sering ke mesjid kalo Ramadhan doank. Lebih sering ke mall atau nangkring di rumah temen. Yang paling standar, wasting time for reading novel. Dimataku, anak-anak DKM atau sejenisnya adalah manusia-manusia istimewa. Mereka mau mendengarkan ceramah monoton, mengaplikasikannya dan orang yang rela mengorbankan life style nya untuk sesuatu yang antik.

Yang antik dimataku contohnya adalah cara berpakaian, cara sapa-menyapa, cara mereka melihat. Cara sapa menyapa dengan panggilan berbahasa arab dan terdengar akrab. Melihat lawan jenis menunduk. Antik aja... secara ada orang yang jengkel kalo ngomong gak diperhatiin.

Sesampainya disana, aku langsung diajak menuju lantai dua. Aku diajak menghadiri bedah buku. Aku sering datang ke acara bedah buku, tapi bukan buku yang bernafaskan Islam. Aku menyukai sastra dan ilmu pengetahuan umum. Ini kali pertama, aku ingin tahu tentang novel yang bernuansa Islami.

Kami menuju aula, di dekat pintu sebalah kanan ada meja panjang yang menjajakan aneka buku. Dan dekat pintu sebelah kiri ada meja penerima tamu. Di meja itu ada buku tamu yang seyogyanya di isi oleh pengunjung. Aku menuliskan namaku di buku itu.
“Hai...”sapa sebuah suara dibelakangku.

Aku tersenyum ketika melihat orang yang ku kenal sejak enam tahun lalu. Ana teman SD-ku. Dia sudah berubah. Yah seperti perempuan yang dipanggil akhwat pada umumnya, maksudku perempuan yang berpakaian serba lebar. wow...keren

“Ngapain setan dateng kesini?”tanyanya...
Apa aku gak salah dengar? Setan? Aku? Ada akhwat yang tidak menjaga perkataanya? Betapa sempitnya penilaianku selama ini. Aku kira mereka ini sempurna, baik dalam bersikap dan berkata. Ingin rasanya aku menamparnya. Disini. Sekarang. Tapi....

Nadia menarikku ke dalam. Nadia tahu aku tersinggung. Dia tak ingin aku menanggapi ucapan Ana.

“Maaf, kita kedalam dulu.”Ujar Nadia kepada Ana.
“Ngapain sih narik-narik? Mulutnya harus di hajar tahu!”ujarku kesal.
“Kalau kamu mau berantem jangan disini. Kecuali kamu tidak menghargai aku.”
Aku pun menutup mulut sambil menjejari langkah Nadia yang menuju bangku kosong. Aku diam untuk menghargai Nadia yang sudah susah payah membujukku untuk datang kemari.

Aku tak tahu apa yang dibicarakan orang-orang didepan. Aku terlalu sibuk dengan perasaan kesalku. Merutuk dan mengutuk.

“Kenapa kamu? Tumben. Biasanya aku terheran-heran karena kamu sepertinya tidak pernah kehabisan stok pertanyaan. Sekarang, tidak satu pertanyaan pun yang keluar dari mulutmu.”
“Males!”
“Hm...lebih aneh tuh. Apa kamu masih sebel?”
“Ya iyalah.”
“Jilbab itu bukan topeng untuk berbaik-baik pada orang lain. Tidak semua perempuan berjilbab itu sempurna seperti yang kau bayangkan. Jilbab itu sebagian dari kepatuhan kita untuk menutup aurat sebagaimana mestinya. Jika jilbab itu mendatangkan fungsi lain, ya.. itu adalah nilai tambahnya.”
“Maksudmu?”
“Aku tanya deh sama kamu. Kenapa kamu pake kerudung?”
“Kan kata guru agama yang bukan aurat cuma muka sama telapak tangan.”
“Hanya itu?”
Aku diam. Berpikir tentang setahun belakangan.
“Awalnya sih iya, hanya itu. Tapi lama-kelamaan, aku mulai menahan marahku yang gampang meledak. Malu. Masa pake kerudung tapi tukang pundung. Seenggaknya, sekarang udah gak maen gaplok kalo ngambek.”
“Itu artinya kerudung kau jadikan benteng malumu. Kamu belajar untuk mengerti malu pada awalnya. Lambat laun kamu akan mempelajari hal lain lagi. Setiap orang butuh proses belajar untuk berubah.”
“Jadi apa maksudmu, Ana baru memperbaiki penampilannya saja? Memenuhi satu ajaran agama menutup aurat... dan soal menjaga lidah perlu waktu untuk belajar lagi.”
“Bisa dikatakan begitu. Tadi juga temanmu itu kan mengatakannya sambil tersenyum. Bercanda barangkali. Kamu nya aja yang masih mudah tersinggung.”
“Coba saja... banyak aktivis mesjid yang mengajak ke arah kebaikan dengan bahasa sederhana, aku tentunya mudah mengerti. Bukan dengan diksi aneh, mesti buka dulu KBBI atau dengan intonasi yang monoton. Ya seperti kamu...Barusan kan secara gak langsung kamu negur aku agar tidak mudah tersinggung.”
“Kamu ini... ada-ada aja.” Ujar Nadia sambil tersenyum.

Komentar

Postingan Populer