Cita-cita

Waktu kecil sering ditanya, kalau besar nanti cita-citanya apa. Saya sering bingung. Pertanyaan itu, konteksnya luas tetapi identik pada profesi. Jawaban yang saya berikan beragam seiring dengan pengetahuan yang sudah menyentuh kepala saya.

Jawaban awal saya... saya ingin jadi insinyur... karena insinyur itu biasanya orang kaya, kalau saya kaya saya ingin membuat asrama bagi pengamen jalanan. Jawaban tersebut bertahan hingga kelas 2 SMP. Jawaban berikutnya, saya sadar kalau gambar saya tidak bagus, dan saya lebih suka tata busana... Hm, saya rasa apasalahnya jadi designer kayak Aji Notonegoro... dia kaya juga, saya ingin nanti saya bisa membuat perusahaan yang bisa memperkerjakan anak jalanan agar mereka tidak kembali ke jalanan.

Karena jaman SMA gak ketemu tata busana, beda lagi deh "cita-citanya". Saya ingin jadi pembuat iklan atau animator. Sayang seribu sayang, saya tercengang dan takut duluan untuk masuk Seni Rupa ITB atau ITHB, spp nya tidak sesuai dengan kantong saya yang enggan meminta uang pada ibu saya, walau saya tahu beliau mampu membiayai...

Saya memutar otak, mengukur kemampuan... saya jadi wartawan sajaaaaa.... ambil FIKOM. Alhamdullilah saya lolos seleksi di salah satu universitas terkemuka. Sayang seribu sayang, maksud hati ingin menyuarakan anak-anak terlantar apa daya restu orang tua tidak saya kantongi. Akhirnya terseok-seok saya mengenyam ilmu untuk menjadi pendidik.

Swearrrrr, saya kuliah semaunya... seenaknya... dan terbengkalai lah.. karena setengah hati. Ketika saya sudah bekerja........... ampyun dah. Tuhan, maafkan hamba yang telah banyak menyia-nyiakan waktu. Betapa saya merugi. Betapa saya khilaf.... puji syukur...hamba ternyata orang yang sangat beruntung. Saya lupa dengan cita-cita saya yang sesungguhnya... sebetulnya saya mengumpulkan buku untuk apa... sebetulnya saya berwirausaha untuk apa... sebetulnya saya menulis untuk apa.... sebetulnya saya belajar banyak keahlian untuk apa.... semua itu tujuannya saya ingin membantu anak-anak yang terlantar.

Cita-cita saya bukanlah terbatas oleh satu profesi, atau kepunyaan sesuatu. Akan tetapi, saya mengerti bagaimana rasa terlantar. Saya ingin membagi keberuntungan saya dengan orang lain. Saya ingin mencerdaskan anak bangsa dan saya ingin mengentaskan kemiskinan. Saya tidak ingin menunggu pemerintah berbuat sesuatu sesuai dengan UUD 1945. Biarlah, walau sedikit sebaiknya saya memberikan kontribusi nyata. Saya ikhlas menjadi pengajar dan mengkoordinasi teman-teman bersama-sama merubah pola pikir buruh yang mudah dibodohi orang-orang yang mementingkan diri sendiri.

Komentar

Postingan Populer